Pernikahan adalah sesuatu yang suci,
sakral dan bernilai ibadah, karena pernikahan adalah salah satu dari sekian
pintu yang digunakan untuk meraih keridhaanNya. Pernikahan juga merupakan
ikatan suci antara dua insan, di mana mereka saling mendukung dan mendampingi
antara satu dan lainnya demi menggapai keridhaan Rabb-nya. “Dan segala sesuatu Kami ciptakan
berpasang-pasangan supaya kalian mengingat (kebesaran ALLAH).” (QS. 51: 49)
Menikah itu tidak semudah ataupun
sesulit yang kita bayangkan, nah loh gimana ceritanya tuh. Banyak orang yang
tidak mau menikah karena ia takut untuk menikah, takut tidak bisa bertahan
dengan pasangannya, takut pasangannya tidaklah sama seperti yang dibayangkan
sebelum menikah, takut tidak bisa menghidupi keluarga dengan baik, takut tidak
terpenuhinya semua keinginan yang telah ia rancang, takut ini takut itu dan
takut segalanya. Ada juga yang menganggap menikah itu mudah, dengan hanya
bermodalkan niat tanpa ada persiapan-persiapan yang harusnya ia miliki sebelum
memutuskan untuk menikah. Lalu apa aja sih persiapan sebelum menikah itu???
1. Ruhiyah
Kenapa ruhiyah menjadi hal pertama yang
harus dipersiapkan sebelum menikah?? Karena ketika kita belum menikah kita
hanya disibukkan dengan diri sendiri dan keluarga kita, masalah kita pun tak
sekompeks seperti halnya orang yang telah menikah. Maka dari itu kita harus
memperhatikan hal satu ini, sebelum menikah kita harus meluruskan niat kita,
untuk apa sih kita menikah??
Menikah itu haruslah dengan motivasi
untuk beribadah kepada-Nya. Tidak salah, tidak salah sama sekali jika kita
menikah disebabkan alasan psikis karena saling mencintai kemudian sepakat untuk
menikah atau karena alasan biologis berupa dorongan syahwat pun tidak salah,
namun jangan jadikan hal-hal tersebut sebagai satu-satunya alasan untuk
menikah, terlepas dari kehendak untuk beribadah kepada-Nya.
Berapakah lamanya perasaan cinta yang
mampu bersemai dihati sepasang kekasih tanpa nilai ketaqwaan didalamnya dan
seberapa mampukah gejolak syahwat diredam hanya karena tuntunan pemenuhan
biologis semata. Sudah menjadi tabiat dasar manusia yang tidak pernah puas akan
kesenangan dan kenikmatan, sampai-sampai Rasulullah bersabda adalah bani adam yang apabila diberi
kepadanya sebuah lembah yang penuh emas, maka pasti dia akan meminta lembah
lainnya berisi emas juga.
Agar tendensi ketidak puasan tersebut
mampu untuk dikendalikan, tak lain hanya dengan menggunakan rambu-rambu syariat
dimana salah satunya ialah dengan menjadikan niat menikah dimotivasi akan
keinginan untuk beribadah kepada-Nya sehingga mampu melahirkan sifat qana’ah
atau kecukupan hati.
Bukankah tujuan menikah ialah
menciptakan ketenangan dan perasaan cinta serta kasih (sakinah, mawadah,
warahmah) antara suami istri. Tidaklah ketenangan hati mampu dicapai kecuali dengan
mengingat Allah dan tidaklah seseorang bisa mengingat Allah secara sempurna
kecuali dia tengah beribadah kepada-Nya, sedangkan pemilik sesungguhnya dari
perasaan cinta dan kasih ialah Allah SWT, sehingga menjadi hak-Nya untuk
memberikan perasaan tersebut kepada hamba-hamba yang dikehendaki-Nya dan tentu
saja menjadi hak-Nya juga untuk mencabut perasaan tersebut kapan saja Dia mau.
Lalu apa yang bisa kita lakukan agar
Allah SWT sudi untuk senantiasa menjadikan perasaan cinta dan kasih bersemayam
dihati kita? Tentu saja dengan membuat Dia ridho melalui ibadah kepada-Nya. (ngutip kata-kata di note-nya temen)
2. Ilmiah atau Ilmu
Pengetahuan
Nah hal satu ini juga ga kalah penting
dari yang pertama, seperti halnya kita akan memasuki dunia baru, kita harus tau
apa saja sih yang ada di dunia itu, kemungkinan-kemungkinan apa saja yang akan
tejadi selama kita di dunia baru itu, dan banyak lagi yang perlu kita ketahui
sebelum kita memasuki dunia baru tersebut. Dalam sebuah pernikahan, kita harus
tau banyak hal terkait tentang pernikahan. Carilah ilmu-ilmu berkenaan dengan
pernikahan, bagaimana menjadi suami/istri yang baik, fiqh-fiqh pernikahan, cara
berkomunikasi efektif dengan pasangan, cara mendidik anak, de el el…
Berkaitan dengan cara berkomunikasi
ini, saya punya catatan yang cukup menarik yang bisa kita pelajari bersama
tentang perbedaan unik antara pria dan wanita dalam berkomunikasi…
- Single Tasking
Otak wanita memiliki Corpus Callosum,
yaitu sekelompok saraf yang menghubungkan otak kanan dan kiri. Saraf inilah
yang menghubungkan komunikasi di antara kedua belahan otak. Koneksi yang lebih
kuat antara bagian-bagian otak yang berlainan meningkatkan kemampuan WANITA
untuk melakukan MULTI TASKING atau beberapa tugas sekaligus.
Pada pria, saraf ini mempunyai ukuran
25% lebih kecil daripada wanita. Inilah sebab mengapa LAKI-LAKI UMUMNYA SINGLE
TASKING : hanya bisa mengerjakan satu urusan pada satu saat.
- Berorientasi Solusi
Setiap tindakan kita atas suatu masalah
ditentukan oleh level aman, yakni persepsi tentang seberapa parah dampak yang
akan timbul. Level aman terhadap masalah bagi seorang WANITA lebih rendah,
tetapi baginya yang terpenting adalah merasa DIDENGARKAN DAN DIPAHAMI.
Orientasinya proses itu.
Level aman terhadap masalah bagi
seorang laki-laki memang lebih tinggi. Tetapi baginya, masalah itu harus
dipecahkan oleh dirinya sendiri, jadi laki-laki memang tidak mudah panik.
Mungkin bagi wanita hal tersebut terkesan menggampangkan masalah. Dibalik
ketidakpanikan, dalam diri LAKI-LAKI tertancap kuat sebuah persepsi bahwa
setiap masalah harus berujung dengan SOLUSI.
Kita ambil satu cerita yang cukup
menarik, suatu hari seorang istri bercerita tentang apa yang ia kerjakan
seharian kepada sang suami, “Bang, aku capek banget nie, dari tadi aku ngurus
anak-anak, nyuci baju, masak, semuanya deh… Huffh, bener-bener capek!”.
Suaminya lantas berpikir, apa ya solusi untuk masalah dari istrinya ini. Dan
dengan santainya ia mengatakan “Insyah Allah bulan depan kalo abang punya uang
lebih kita akan pake jasa pembantu.” Terang saja si istri berpikir dalam hati,
“hmm… Jadi selama ini aku dianggap pembantu ya?” Padahal maksud sih istri ia
hanya ingin mencari telinga yang mau mendengarkannya, bukan berarti ia meminta
dicarikan solusi dari permasalahannya.
Kata Ust. Salim A Fillah, “Jika kita
mau memahami tingkah laku sang istri dan menjadi pendengar terbaiknya, insyah
Allah kita bisa menghemat banyak anggaran untuk hal-hal yang sebenarnya tidak
perlu dan rahasia keluarga kita tak sampai ke telinga orang lain (karena sang istri
merasa tak didengar di rumahnya sendiri).”
- Memilih DIAM Jika
dihadapkan Masalah atau Pilihan Sulit
Ingat apa yang dialami Ibrahim as
ketika diminta Allah meninggalkan anak dan istrinya di lembah tak bertuan, tak
bertanaman, tak bermanusia, di dekat rumah Allah yang mulia? Perasaan sebagai
bapak dan suami yang harus memimpin, melindungi dan menafkahi bergumul dengan
perasaan sebagai hamba dan Nabi yang harus mentaati Allah. Maka dia tak sanggup
bicara, hanya DIAM. Bahkan ketika Hajar bertanya tiga kali kepadanya, dia tetap
tak bicara.
- Memerlukan Ruang
Menyendiri dalam Kondisi Tertekan
Ketika Muhammad, lelaki yang banyak
menyendiri memikirkan ummat itu mendapat wahyu pertama, dia shock. Seolah beban
separuh bumi untuk mengubah nasib ummat manusia diletakkan di pundaknya seorang
diri. Ketika pulang Beliau jatuh berulang kali, sesampainya di rumah ia
berkeringat dingin, pucat pasi, menggigil dan pias. Dia berkata, “Selimuti aku,
selimuti aku.. Selimuti aku!”
Kehebatan Khadijah sebagai istri adalah
bahwa melihat kepanikan itu dia tak ikut panik dan tak bertanya, “Ada apa?” Dia
langsung menyelimuti dan memberi ruang menyendiri kepada Muhammad untuk
menenangkan diri.
Terkadang istri bermaksud baik untuk
mendukung suaminya, dengan menanyakan apa yang menjadi permasalahan pada
suaminya. Tapi sang suami berteriak dalam hati, “Bisa tolong biarkan aku
sendiri gak sih? Percaya sajalah! Kalaupun ada yang ketinggalan, percayalah
bahwa nanti aku akan menemukan solusinya! Kalaupun ada suatu masalah akibat
keteledoran di sini, nanti akan kita cari solusinya di sana!”
Seorang lelaki lebih memilih menyendiri
untuk menyelesaikan permasalahannya ketimbang menceritakan masalahnya kepada
orang lain, sangat berbeda dengan perempuan yang dengan senang hati
menceritakan apa yang terjadi padanya ke orang lain. Dia hanya ingin sedikit
meringankan bebannya dengan berbagi ke orang lain, terkadang perempuan
beranggapan lelaki itu seperti halnya dia. Sehingga ia senantiasa mengharap
sang suami mau menceritakan permasalahan yang ia hadapi kepada dirinya, sama
seperti yang ia lakukan.
- Menghitung dan
Menimbang dalam Hubungan
Seorang wanita tidak menghitung. Ia
akan memberi dan terus memberi sebagaimana pada saatnya. Ia menuntut untuk
menerima dan terus menerima. Seorang laki-laki menghitung, “Saya sudah sekian
kali memberi, boleh dong saya ambil kesempatan kali ini untuk diri saya.”
Seorang wanita tidak menimbang. Baginya
satu kebaikan adalah satu kebaikan. Besar atau kecil tidak dipertimbangkan.
Sementara laki-laki menimbang, “Jika saya sudah memberi kebaikan sebesar ini,
saya berhak melakukan tiga kesalahan kecil tanpa disalahkan.”
- Memerlukan Jeda-jeda
“Mandiri” untuk Menjaga Hubungan
Seorang wanita seperti gelombang.
Kemampuannya mencintai seseorang naik dan turun sesuai apa yang dirasakannya
dalam hubungan. Sebaliknya, seorang laki-laki seperti karet gelang. Ia secara
otomatis berubah-ubah antara membutuhkan kedekatan dan kemandirian. Dan ketika
dia mengambil jeda untuk melakukan kegiatannya sendiri yang tak berhubungan
dengan orang lain, sebenarnya di situ akan dia temukan kebutuhan untuk mendekat
kembali.
Maksudnya, ketika seorang lelaki merasa
hubungannya dengan orang lain mengalami hal yang cukup menjenuhkan. Biasanya
mereka akan mencari ruang untuk diri sendiri, misalnya ia berkumpul dengan
teman-temannya, mencari sedikit hiburan dan ketika ia merasa lebih baik, ia
akan kembali mendekat.
- Berkomunikasi
dengan Kalimat Langsung
Kecerdasan menangkap makna, perempuan
biasanya lebih tinggi sehingga kalimat tak langsung yang sering mereka gunakan
sulit dipahami laki-laki. Untuk berkomunikasi dengan laki-laki: kalimat “Mau
nggak bawain belanjaan?” lebih baik daripada “Belanjaannya masih di motor loh”
atau “Minggu besok kita pergi yuk!” lebih baik daripada “Sudah lama loh kita
nggak jalan-jalan.” Atau “Maukah kau menjemput anak-anak?” lebih baik daripada
“Anak-anak harus dijemput dan aku masih banyak kerjaan.”
KEBUTUHAN EMOSI YANG
UNIK
Laki-laki dan perempuan memiliki
kebutuhan emosi yang berbeda. Wanita membutuhkan perhatian, pengertian, hormat,
kesetiaan, penegasan dan jaminan. Sementara pria membutuhkan kepercayaan,
penerimaan, penghargaan, kekaguman, persetujuan dan dorongan.
Kesalahan
Wanita Sehingga Pria Merasa Tidak Dicintai
-
Mencoba memperbaiki tingkah lakunya atau menolongnya dengan menawarkan nasehat
yang baik yang tidak diminta. --} Pria merasa tidak dipercaya
-
Mencoba mengubah atau menguasai tingkah laku dengan menyampaikan kesalahan atau
perasaan negatif –nadanya memanipulasi dan menghukum-. --} Pria merasa tidak
diterima
-
Tidak menghargai yang dilakukan pria padanya, tetapi mengeluh mengenai apa yang
tidak dilakukan oleh pria kepadanya. --} Pria merasa tidak dihargai
-
Membetulkan tingkah lakunya dan memberitahu apa yang seharusnya, seolah-olah ia
anak kecil. --} Pria merasa tidak dikagumi
-
Perasaan kecewa diungkapkan tak langsung dengan pertanyaan retoris, “Mengapa
kau melakukan itu?” --} Pria merasa tidak disetujui
-
Ketika pria membuat keputusan atau mengambil inisiatif, wanita sering
mengecamnya.
--}
Pria merasa tidak didorong dan justru dikecilkan hatinya.
Kesalahan
Pria Sehingga Wanita Merasa Tidak Dicintai
-
Tidak mendengarkan, mudah terbagi perhatiannya, tidak mengajukan pertanyaan
yang penuh minat atau perhatian. --} Wanita merasa tidak
diperhatikan/dipedulikan
-
Mengartikan perasaan secara harfiah, ia menganggap wanita perlu penyelesaian,
karena itu ia memberinya solusi. --} Wanita merasa tidak dimengerti
-
Mendengarkan, tapi kemudian marah dan menyalahkan (karena memang sebenarnya
salah) atau karena membuatnya kecewa dan patah semangat.
--}
Wanita merasa tidak dihormati
-
Menganggap banyak hal penting lain (pekerjaan, anak-anak) harus diselesaikan
daripada berlama-lama mendengarkan istri tanpa menemukan solusi.
--}
Wanita merasa sang suami tidak setia
-
Bila wanita marah, pria menjelaskan mengapa pria benar dan mengapa seharusnya
wanita tidak boleh kecewa. --} Wanita merasa tidak dihargai atau pria tidak
tegas menghargainya
-
Setelah mendengarkan, tidak mengatakan apa-apa atau pergi begitu saja atau
malah tertidur. --} Wanita tidak merasa mendapatkan jaminan
Hal-hal tersebut di atas terkadang
terabaikan oleh kita sehingga mengakibatkan terjadinya hal-hal yang tidak
diinginkan dalam kehidupan berumah tangga. Untuk itu sedini mungkin kita
belajar memahami karakteristik lawan jenis kita, apa yang mereka inginkan
ketika merasa sedih, apa yang dapat membuatnya menjadi seseorang yang dihargai,
de el el…
Dalam kehidupan berumah tangga akan
banyak hal tejadi yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya, kita harus siap
dengan kemungkinan-kemungkinan yang ada. Kita tidak boleh hanya mengharapkan
sesuatu dari pasangan kita tanpa berharap dapat memberikan sesuatu kepadanya.
Jangan pula hanya disibukkan untuk mengurusi kemauan, tanpa menyibukkan diri
untuk mencapai kemampuan kita dalam berumah tangga. Dan cintailah suami ataupun
istrimu sebagaimana ia ingin dicintai, perilakukanlah ia sebagaimana ia ingin
diperlakukan. (Salim A Fillah)
3. Jasadiyah
Ini juga perlu dipersiapkan sebelum
kita menikah, terkadang kita mengabaikan faktor satu ini. Biasanya ketika masih
bujangan atau gadis, kita akan makan apapun yang kita ingin makan, makan kapan
pun kita ingin makan, tanpa mempedulikan apakah makanan itu baik untuk tubuh
kita atau malah merusak sebagian fungsi organ tubuh kita. Kita juga jarang
menyempatkan diri untuk olahraga, apalagi wanita (pengakuan diri, hehe) jarang
sekali membagi waktunya yang padat itu untuk sekedar mengolahragakan diri. -__-
Maka dari itu, mulai dari sekarang
sempatkanlah waktu untuk olahraga, walaupun cuma setengah jam (lumayan lama ya,
15 menit juga bolehlah… ^^), atur pola makan (jangan makan siang pada saat mau
makan malam, atau sarapan di penghujung Dhuha, makanlah ketika lapar dan
berhentilah sebelum kenyang), perhatikan makanan yang dimakan (makanlah makanan
yang bergizi, sehat dan baik untuk tubuh kita. Jangan hanya makan ‘makanan
kampus’, ‘makanan anak kost’, ataupun ‘makanan musafir’. Karena kita akan
dimintai pertanggungjwaban atas apa yang kita makan, yang kelak akan berimbas
pada keturunan kita. Waspadalah! Waspadalah!)
4. Finansial
“Disamping mental untuk mengaplikasikan
ilmu yang telah mereka miliki, para ikhwan juga wajib menyiapkan mental lain
terkait kesiapan mereka untuk menikah, yaitu mental survive dan pantang
menyerah untuk mencari maisyah. Itulah yang dimaksud dengan KESIAPAN BERMATERI.
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang
makruf (QS Al-Baqarah : 233)”
Materi tentu saja penting, walaupun
materi bukan segala-galanya, tapi segala-galanya akan sulit bergerak jika tidak
ada materi, namun seandainya kita menjadikan materi sebagai patokan kesiapan
seorang ikhwan untuk menikah, maka hal tersebut menjadi sangat relative.
Sekarang coba tanyakan pada dirimu, kira-kira materi apa ya yang minimal harus
dimiliki sebelum seorang ikhwan memutuskan bahwa dirinya telah siap untuk
menikah?” Apakah sudah ada rumah meskipun masih ngontrak? Mobil? Motor?
Hmmm. Coba kita melihat satu contoh
kehidupan rumah tangga pada masa Rasulullah, yaitu kehidupan rumah tangga Ali
bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra. Pada saat Ali bin Abi Thalib menikahi
Fatimah, harta apa yang dimiliki oleh Ali? Hanya baju perang saja. Hanya itulah
yang dimiliki oleh Ali. Apakah Fatimah protes lalu menuntut lebih dari Ali?
Adakah Rasulullah keberatan untuk melepaskan putri kesayangannya menikah dengan
Ali? Fatimah sadar sebagai seorang suami Ali sudah berusaha keras untuk
melaksanakan kewajibannya dalam memberikan nafkah dan Ali sudah berikhtiar
semampunya untuk itu, namun bukankah untuk masalah hasil merupakan urusan
Allah? Masalah hasil sudah diluar kewenangan Ali. Allah lebih melihat pada
proses sebab masalah hasil adalah hak-Nya.
Cukuplah mental survive dan pantang
menyerah serta giat bekerja dari seorang ikhwan menjadi pertanda bahwa dia
telah memiliki KESIAPAN BERMATERI. Lalu menjadi pertanyaan yang krusial adalah,
bagaimana cara kita menilai bahwa seorang ikhwan telah memiliki mental survive
dan pantang menyerah serta giat bekerja? Cara menilainya ialah dengan melihat
kegigihannya dalam bekerja.
Mengetahui usaha-usaha apa saja yang
telah dilakukannya dalam mencari nafkah, meskipun hasil dari kegigihan dan
usahanya tersebut belum membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan. Itulah
cara menilainya.
Perlu digaris bawahi, bahwa kita
katakan “belum” membuahkan hasil yang diharapkan. Kita tidak menggunakan frase
kata “tidak” membuahkan hasil seperti yang diharapkan, tapi frase kata “belum”.
Maksudnya apa? Mengapa kita menggunakan frase kata “belum”? Tiada lain ingin
menyampaikan pesan positif bahwa untuk mendapatkan hasil seperti yang diharapkan
itu hanya masalah waktu. Bukan masalah ketidak mampuan sang ikhwan apalagi
kemustahilan, karena dia telah memiliki modal dasar yang paling fundamental dan
berharga dalam mencari maisyah yakni MENTAL SURVIVE DAN PANTANG MENYERAH.
Akan sangat berbeda ceritanya jika ia
seorang yang telah memiliki kemapanan materi dan rupanya kemapanan tersebut
diperolehnya karena bantuan orang tua mungkin atau warisan, sehingga belum bisa
disebut sebagai ikhwan yang memiliki mental survive dan pantang menyerah sebab belum
teruji.
Bukankah Allah telah berjanji bahwa dia
akan memampukan hamba-Nya yang miskin apabila hamba-Nya tersebut ingin menikah?
(QS An-Nur : 32) Dan tidaklah janji tersebut akan ditunaikan oleh Allah kecuali
bagi hamba-hamba-Nya yang mau berikhtiar untuk mewujudkannya. Sesungguhnya
Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang
ada pada diri mereka sendiri (QS Ar-Ra’d : 11).
Lalu siapakah hamba-Nya yang pantas
untuk mendapatkan janji mampu dari-Nya? Tentu saja hanya bagi hamba-hamba-Nya
yang mempunyai mental survive dan pantang menyerah, sebab hal tersebut
merupakan representasi ikhtiar yang sesungguhnya.
5. Sosial
Sosial?? Apaan nie maksudnya??
Maksudnya, kita harus mempersiapkan diri dengan segala perubahan yang akan
terjadi ketika kita menikah, bertambahnya peran kita setelah menikah (yang
dulunya hanya sebagai seorang anak, cucu, adik, kakak, murid ataupun teman,
kini kita akan bertambah peran menjadi seorang istri/suami, menjadi menantu,
adik/kakak ipar, menjadi ayah/ibu, menjadi paman/bibi). Apalagi ketika kita
telah tinggal terpisah dengan orang tua, kita harus mampu bermasyarakat dengan
baik, menjadi tetangga yang baik untuk tetangga kita (paling tidak 40 rumah ke
kanan, kiri, depan dan belakang), kita harus memiliki keinginan dan usaha untuk
mengubah masyarakat ke arah yang lebih baik, bukankah seorang Muslim yang
paling baik adalah yang paling banyak manfaatnya untuk orang lain, jangan
sampai kita hanya disibukkan dengan urusan kita sendiri sehingga tidak mempedulikan
orang-orang di sekitar kita.
Itulah beberapa hal yang harus kita
persiapkan sebelum memutuskan untuk menikah, insyah Allah jika kita telah
menyiapkan hal tersebut di atas kita akan lebih matang dalam menjalani
kehidupan berumah tangga (aamiin). Ingatlah orang yang nantinya akan
mendampingi kita dalam mengarungi samudera kehidupan ini bukanlah malaikat yang
tanpa cacat, bukan pula bidadari yang senantiasa nampak ‘cantik’. Ia hanya
insan biasa yang pastinya memiliki banyak kekurangan, di samping ia memiliki
berjuta kelebihan yang seakan tertutup karena kekurangan yang ia miliki.
Bersabarlah jika si dia tidaklah sebaik seperti yang kita harapkan sebelumnya,
karena itu akan jauh lebih baik bagimu. Bersyukurlah, jika ternyata dia pun
jauh lebih baik dari yang pernah kita pikirkan, itu akan membuatmu ditambahkan
kenikmatan yang lebih dari-Nya. Bersiaplah dengan segala perubahan yang
nantinya akan kau temukan dari si dia, baik itu perubahan ke arah lebih baik
ataupun kebaikannya memudar karena sesuatu.