Jumat, 10 Desember 2010

JANGAN DITANYA!!!

Belakangan ini aku banyak memperhatikan pola tingkah orang-orang terdekatku, ternyata aku menemukan beberapa hal menarik untuk dibahas. Tentang sebuah PERTANYAAN, biasa aja sih. Cuma pertanyaan kok, tapi pertanyaan kali ini beda. Pertanyaan yang jika ditanyakan dapar berakibat berubahnya raut wajah, lirikan mata dan gerak tubuh. Aku menyebutnya >> PERTANYAAN SENSITIF..

Berikut pertanyaan-pertanyaan sensitif itu, ini berdasarkan hasil survey-ku loh. Survey?? Gaya amat yak aku..

--} Berapa IPK???
Pertanyaan satu ini benar-benar sensitif bagi mahasiswa yang baru mengambil KHS (Kartu Hasil Studi), biasanya setelah mengambil KHS dan melihat hasilnya, mereka langsung memasukkan selembar kertas itu ke dalam tas. Apalagi kalo banyak Vit C di sana, wah pasti ga mau banget diliat. *pengalaman*

Jangan sampe deh kamu nanyain berapa IPK-nya, pasti wajahnya manyun atau ga dia jawab dengan senyum terpaksa *nyengir kuda*

Walaupun maksud kita baik, yaa istilahnya perhatianlah. Tetep aja hal itu menyentuh sisi sensitifnya, nanti juga dia akan cerita sendiri tapi tidak di depan banyak orang tentunya…

--} Apa kabar SKRIPSI??
Ini nih, pertanyaan satu ini juga sangat sensitif. Khususnya untuk mahasiswa akhir semester seperti diriku ini, *curcol*

Bukannya kenapa, hanya saja ada perasaan tertekan ketika ditanya hal itu. Meskipun hanya sebuah pertanyaan basa-basi ketika bertatap muka di jalan, tapi bagi si pendengar itu adalah sebuah beban. Entahlah, apa hanya aku dan beberapa teman dekatku saja yang merasakan ini atau banyak orang di luar sana yang merasakan hal yang serupa denganku.

Tau sih maksudnya baik, ingin membantu, memberi semangat dan motivasi. Tapi, tetep aja serasa dihujam dengan palu kepalaku kalo denger tentang skripsi. Aku bisa mengerjakan sendiri, malah akan jadi malas mengerjakannya kalo yang nanya hal itu terus hilir mudik di telingaku… Uda BAB berapa?? Kapan kompre?? Huaaaaachh… (>_<)

--} Kapan WISUDA???
Ini pertanyaan lanjutan, biasanya yang menanyakan hal ini adalah orang-orang yang tidak begitu tau perkembangan akademis kita. Orang tua, keluarga, teman lama, tetangga, dan beberapa orang yang kita kenal.
Mereka hanya tau kita sudah semester sekian, jadi sudah pantas diwisuda.

Pertanyaan satu ini jauh lebih dahsyat, aku pernah dicuekin berhari-hari gara-gara nanyain hal ini ke abangku. Salahku juga sih, nanyain hal itu pas keluarga lagi kumpul. Kontan saja abangku dimarahin ayah, diomelin ibu. Akhirnya aku yang kena batunya, dicuekin deh T_T

Baru sekarang aku bisa merasakan hal itu, karena saat ini aku yang mengalami masa-masa sulit itu. Seisi rumah dah kaya beo aja, pada kompak nanyanya, Kapan Ci Wisuda??? Segera boss.. ^^

--} Sudah KERJA?? Di mana???
Pertanyaan satu ini sering ditanyakan kepada mereka yang sudah menyelesaikan studi, baik itu sekolah ataupun kuliah. Mereka sering disodorkan pertanyaan, sudah kerja? Di mana???

Awalnya hal ini biasa saja, tapi kalo ditanyakan terus jadi hal yang luar biasa. Yang mendengarkannya bisa pusing tujuh keliling! Apalagi waktu untuk mencari pekerjaan sudah di luar batas, misalnya: Lulus akhir tahun, eh sampe pertengahan tahun tetap saja belum dapat kerja. Pasti akan menjadi beban baginya, meskipun orang tua tidak menuntut banyak dan tidak ada masalah dengan hal tersebut. Dia akan tetap merasakan bahwa ia tidak berguna dan hanya bisa menyusahkan saja.

--} Kapan NIKAH???
Hmm… Aduuuuh, sebenernya males bahas yang satu ini. Tapiiii, pertanyaan ini adalah pertanyaan terfavorit sepanjang zaman,.. Baik ia masih remaja ataupun sudah dewasa, pertanyaan ini paling sering ditanyakan.

Usia sudah pantas, sudah lulus kuliah, sudah kerja… Tunggu apalagi coba?? Itu kata mereka,..

Menurut pengamatanku, ketika ditanya pertanyaan satu ini si tertuduh akan mengalami perubahan ekspresi. Kadang hanya bisa senyum semanis mungkin, *jadi ingat dengan seorang mb yang pernah kutanya, maaf ya mb?*

Kadang pertanyaan ini adalah pertanyaan iseng ataupun merupakan perwujudan sebuah do’a dari orang-orang yang menanyakan itu. Mereka ingin melihat orang terdekatnya bisa segera menemukan Sang Pangeran ataupun Bidadarinya.

Kalo aku yang ditanyain itu, aku sih biasa-biasa aja. Toh, usiaku belum begitu banyak. Orangtua juga ga nuntut aku segera menikah, lah wong aku anak bungsu, abang sama mb-ku saja belum pada nikah dan aku belum lulus kuliah. Meskipun teman-temanku dah banyak yang membangun rumah tangga sih! Tapi, kalo yang ditanya itu sudah berumur lebih dari pantas, mungkin akan beda masalahnya. Semisalnya abangku, sering tuh ditanya sama keluarga besar. Apalagi kalo lagi menghadiri walimahannya sepupu, “Revi kapan nyusul?? Calonnya dah ada belum? Perasaan ndak pernah dibawa?” Atau lagi jadi panitia walimahan temannya, “Ant kapan Gus?? Jadi panitia mulu, kapan bentuk panitia?” Biasanya abangku cuma senyum aja, *yang sabar ya kak, :D*

Untuk saat ini, yang kuanggap pertanyaan sensitive itu adalah yang aku tuliskan di atas. Aku yakin deh, pasti banyak lagi pertanyaan sensitive lainnya. Nanti akan kita bahas di waktu yang akan datang, hehehe…

Aku sarankan ya, pertanyaan-pertanyaan yang meghampiri kita itu cukup diambil positifnya aja. Anggap saja mereka yang bertanya itu adalah mereka yang ingin menunjukkan perhatiannya, yang terkadang bagi kita itu bukan hal yang harusnya ia lakukan. Sebagai motivasi, agar kita terus bersemangat untuk mewujudkan apa yang ingin kita gapai. Ndak perlu stress atau jadi minder dengan pertanyaan tersebut. Adakalanya pertanyaan itu tak membutuhkan jawaban dengan kata-kata, waktu memiliki kuasa untuk menjawab pertanyaan tersebut. Teruslah berdo’a padaNya agar ia melebihkan kesabaran pada kita untuk menghadapi tiap pertanyaan yang hadir, berharap ia akan memberikan waktu yang tepat untuk kita menjawabnya.

Kamis, 09 Desember 2010

Yang Teristimewa

Istimewa, ya itulah kata yang dapat ku sematkan pada dirimu…
Dirimu yang sederhana, namun sangat bersahaja…
Dirimu yang mungkin belum pernah kujumpa dengan mataku, namun telah bersua dengan hatiku…

Mengambil kata-kata dari adindaku tersayang, yang coba ku kembangkan menjadi lembaran surat cinta untuk engkau yang begitu istimewa…
“Ada yang mengajariku untuk berkata yang baik atau diam, itu sesuatu yang sulit bagiku yang suka sekali berbicara. (Dari Abu Hurairah r.a, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia berkata yang baik atau diam. –HR. Bukhori dan Muslim-). Aku pun pernah mendengar sebuah hadist yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. yang isinya, apabila seseorang mencintai saudaranya, maka hendaklah ia memberitahunya (HR. Abu Dawud dan at Tirmidzi). Tak sulit bagiku untuk melakukan hal tersebut, maka akan kukatakan, Aku Mencintaimu Karena-Nya Saudariku…”

Ukhuwah adalah cinta yang mengalir melalui keimanan. Bersemi dengan pupuk nasehat, terawat dalam do’a dan berbuah pertemuan di syurgaNya. Ukhuwah itu menguatkan, menjaga, memberi, memperbaiki, menghilangkan kelalaian dan saling mengingatkan…

Cobalah tuk membaca dan mengerti…
Mereka menyayangimu tapi bukan kekasihmu, mereka memberikan perhatian kepadamu tapi bukan bagian dari keluargamu. Mereka siap berbagi rasa sakit, tapi mereka tak ada hubungan darah denganmu. Mereka adalah sahabatmu, mereka bisa marah seperti ayah, peduli layaknya ibu, suka iseng seperti seorang kakak, dan kadang menyebalkan seperti seorang adik kecil, namun mereka menyayangimu lebih dari seorang kekasih…

Ketika bahasa cinta tak bisa terucap lewat kata, biarlah ia menjelma lewat do’a yang indah. Karena itu adalah satu dari begitu banyak tanda ukhuwah, berarti kita masih saling mencinta karena-Nya…

Sepasang mata indah yang Allah anugerahkan untuk kita menjadi sebuah symbol layar kasih sayang yang sedang coba kukembangkan bersamamu. Mata itu berkedip bersama, melihat dan menangis bersama, serta tidur bersama walau tak bisa saling melihat antara satu dengan yang lain. Begitupun dengan diriku, akan terus mencoba jadi saudara terbaik untukmu. Meski jauh, semoga setiap do’a yang kuberi mampu hangatkan jiwamu. Berharap meski tak terlihat, meski mungkin tak kau rasa, ukhuwah yang ada di hati kita kan tetap bertahan…

Ketahuilah jika kau berteman denganku karena apa yang kupunya, sungguh aku tak memiliki apa-apa. Jika kau berteman denganku karena kau mengira aku menyimpan kelebihan, sungguh aku serba kekurangan. Jika kau berteman denganku karena kita sepaham, sungguh tak selamanya jika akan sejalan. Namun, jika kau berteman denganku karena Allah, sungguh Allah akan menaungi kita dalam kebaikan. Semoga demikian, amiiin…

Liputilah aku dengan nasehatmu, tat kala aku dalam kesendirian. Dan jauhkanlah kepadaku nasehat ketika di keramaian. Sungguh, nasehat di depan orang suatu bentuk pencelaan yang aku tak suka mendengarnya. Semoga engkau mau mengerti…

Ketika kau merasakan percikan iman dalam ukhuwah ini, kau rasakan denyut kebahagiaan dalam tarbiyah ini. Maka panjatkanlah puji dan syukurmu atas segala karunia-Nya yang telah mempetemukanmu dengan saudara-saudara terbaik yang slalu inginkan perbaikan atas dirimu, dari waktu ke waktu…




Beberapa pesan dari para sahabatku, jika aku tuliskan semuanya maka takkan pernah berhenti jari jemari ini menari. Karena cukup banyak pesan indah yang terus mengalir masuk ke dalam handphone miniku itu…

Mungkin, aku terkesan cuek, jarang sekali diri ini merespon pesan-pesan indahmu sahabat. Bukannya tak peduli padamu, semua karena keterbatasanku tuk mengungkap cinta dengan kata atau bahkan aku terlalu berat tuk berkorban meski hanya sekedar beberapa puluh Rupiah pulsa yang kupunya. Aku membiarkanmu menunggu balasan pesan dariku, betapa dzhalimnya diriku ini berbuat seperti itu padamu. Namun, perlu kau ketahui, bahwasanya aku bahagia membaca pesan darimu, meski mungkin aku tak sesegera meresponnya dengan balasan pesan indah layaknya dirimu.

Walau kadang pesan darimu tak seperti suasana hatiku menerimanya, namun aku tetap menghargainya. Dan kau tahu sahabat, suatu waktu pesanmu yang telah lama itu mampu alirkan air dari kedua mataku. Ya, aku menangis membacanya, membaca pesan lama darimu itu. Karena terkadang, ketika aku butuh seseorang untuk mendengar keluhanku, sebaris pesan indahmu mampu gantikan hadir mereka yang kubutuh, karena ku tahu mereka memiliki beragam aktivitas dan kesibukan yang jauh lebih penting dari sekedar mendengarkan celotehanku itu…

Tak perlu kau temaniku di tiap waktu berhargaku, cukuplah kau mengingatku di dalam lantunan do’a-do’a indahmu. Cinta kita tak harus diungkap dengan kata-kata mesra, tak harus dengan perjumpaan intens yang terjadi, tak perlu juga dengan beragam hadiah indah. Aku merasa cukup berarti jika kau slalu menghadiahiku nasehat agar aku menjadi pribadi yang jauh lebih baik lagi, bagiku itu begitu berarti…

Salam sayang dariku untuk dirimu yang begitu ISTIMEWA…
Aku Mencintaimu, karena-Nya. Berharap ukhuwah ini kan berbunga syurga-Nya…

Ujian dari-Nya, Wujud Cinta-Nya


Futur itu ujian, Allah ingin melihat upaya Qta untuk keluar dari sana.
Istiqomah itu ujian, Allah ingin melihat sejauh mana Qta bisa bertahan di jalanNya.
Lelah itu pun ujian, Allah tengah membedakan Qta dari mereka yang lalai.
Santai itu juga ujian, Allah sedang menanti upaya Qta untuk menyadari betapa buruknya aktifitas santai di tengah aktifitas dakwah.
Marah itu ujian, Allah hendak menguji semampu apa Qta menahan diri Qta.
Sabar itu juga ujian, Allah hendak menguji seberapa kuat Qta menjaganya tuk tetap ada di diri Qta.
Persahabatan itu pun ujian, Allah ingin mengetahui sejauh mana Qta mampu memahami arti dari sebuah kesetiaan, kasih sayang, dan kepeduliaan.
Pertengkaran itu ujian, Allah ingin melihat telah sampai mana kedewasaan dan kebijaksanaan yang slalu Qta banggakan itu..

Senin, 06 Desember 2010

Beginilah Seharusnya CINTA..

Di sana, ada cita dan tujuan
Yang membuatmu menatap jauh ke depan
Di kala malam begitu pekat
Dan mata sebaiknya dipejam saja
Cintamu masih lincah melesat
Jauh melampaui ruang dan masa
Kelananya menjejakkan mimpi-mimpi
Lalu di sepertiga malam terakhir
Engkau terjaga, sadar dan memilih menyalakan lampu
Melanjutkan mimpi indah yang belum selesai
Dengan cita yang besar, tinggi dan bening
Dengan gairah untuk menerjemahkan cinta sebagai kerja
Dengan nurani, tempatmu berkaca tiap kali
Dan cinta yang selalu mendengarkan suara hati
Teruslah melanglang di jalan cinta para pejuang
Menebar kebajikan, menghentikan kebiadaban, menyeru pada iman
Walau duri merantaskan kai, walau kerikil mencacah telapak
Sampai engkau lelah, sampai engkau payah
Sampai keringat dan darah tumpah
Tetapi yakinlah, bidadarimu akan tetap tersenyum di jalan cinta para pejuang


-Mencintai Sejantan Ali-

Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Ia tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.

”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali. Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakr lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya..

Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali. Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insyaallah lebih bisa membahagiakan Fathimah. ’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.

”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali. ”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.” Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.

Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu. Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri.

Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut. ’Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah.

’Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..” Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah.

Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya. ’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi. ’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!”

’Umar adalah lelaki pemberani. ’Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak. Dan ’Ali ridha. Mencintai tak berarti harus memiliki. Mencintai berarti pengorbanan untuk kebahagiaan orang yang kita cintai. Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan. Itulah keberanian. Atau mempersilakan. Yang ini pengorbanan.

Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak. Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman sang miliarder kah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’ kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri. Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubadah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?

”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. ”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi..”

”Aku?”, tanyanya tak yakin.

”Ya. Engkau wahai saudaraku!”

”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”

”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”

’Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang. ”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas rasa cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.

Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi. Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.

”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”

”Entahlah..”

”Apa maksudmu?”

”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”

”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka, ”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya!”

Dan ’Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang. Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti. ’Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!”

Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggungjawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian. Dan bagi pencinta sejati, selalu ada yang manis dalam mencecap keduanya.

-Pengorbanan Cinta Salman-
Salman Al Farisi memang sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mukminah lagi shalihah juga telah mengambil tempat di hatinya. Tentu saja bukan sebagai kekasih. Tetapi sebagai sebuah pilihan dan pilahan yang dirasa tepat. Pilihan menurut akal sehat. Dan pilihan menurut perasaan yang halus, juga ruh yang suci.

Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di sini. Madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah berbicara untuknya dalam khithbah. Maka disampaikannyalah gelegak hati itu kepada shahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abu Darda’.

”Subhanallaah. . wal hamdulillaah. .”, girang Abu Darda’ mendengarnya. Mereka tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup, beriringanlah kedua shahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa.

”Saya adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorangPersia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.”, fasih Abud Darda’ bicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni.

”Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, ”Menerima Anda berdua, sahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.” Tuan rumah memberi isyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang puteri menanti dengan segala debar hati.

”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abu Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”

Jelas sudah. Keterusterangan yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah. Sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya! Itu mengejutkan dan ironis. Tapi saya juga mengatakan indah karena satu alasan; reaksi Salman. Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. Mari kita dengar ia bicara.

”Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abu Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!” ???

Cinta tak harus memiliki. Dan sejatinya kita memang tak pernah memiliki apapun dalam kehidupan ini. Salman mengajarkan kita untuk meraih kesadaran tinggi itu di tengah perasaan yang berkecamuk rumit; malu, kecewa, sedih, merasa salah memilih pengantar –untuk tidak mengatakan ’merasadikhianati’-, merasa berada di tempat yang keliru, di negeri yang salah, dan seterusnya. Ini tak mudah. Dan kita yang sering merasa memiliki orang yang kita cintai, mari belajar pada Salman. Tentang sebuah kesadaran yang kadang harus kita munculkan dalam situasi yang tak mudah.

Sergapan rasa memiliki terkadang sangat memabukkan.. Rasa memiliki seringkali membawa kelalaian. Kata orang Jawa, ”Milik nggendhong lali”. Maka menjadi seorang manusia yang hakikatnya hamba adalah belajar untuk menikmati sesuatu yang bukan milik kita, sekaligus mempertahankan kesadaran bahwa kita hanya dipinjami. Inilah sulitnya. Tak seperti seorang tukang parkir yang hanya dititipi, kita diberi bekal oleh Allah untuk mengayakan nilai guna karuniaNya. Maka rasa memiliki kadang menjadi sulit ditepis..

Subhanallah kisah yang indah..^_^

Semoga kita bisa mengambil hikmahnya!

Sumber: Buku “Jalan Cinta Para Pejuang” Karya Salim A. Fillah

Rabu, 01 Desember 2010

Selamat Hari Lahir Untukmu >> My Beloved Sister

Awan berarak ceria tiada titisan hujan,
Pohon melambai tanda sokongan,
Kususuri perjalanan bertemankan senyuman,
Dihari lahirmu sahabatku,

Dedaun berguguran,
Membuktikan kedewasaan,
Walau tanpa madah dan hadiah, *tenang, aku punya hadiah kok. Hihihi*
Namun cukup untukmu sekadar ucapan...

Selamat Hari Lahir,
Iringan doa kuhulur,
Bersyukur kepada-Nya,
Atas nikmat usia,

Usiamu ibarat mutiara,
Tiada berganti lagi,
Hiaskan iman bersulam taqwa,
Agar sempat menuju haruman syurgawi,

{Selamat Hari Lahir, Saujana}


1 December 2010, hari ini tepat 22 tahun usiamu. Gak nyangka ya Wik, sudah 22 tahun dirimu diberikan nikmat usia oleh-Nya. Dan dari 22 tahun itu, kurang lebih 4 tahun Allah memberikanku anugerah ber-ukhuwah denganmu.

Sungguh, sebuah kebahagiaan dapat menjadi salah seorang sahabatmu. Begitu banyak waktu dan moment yang kita lalui, tidak melulu bahagia sih, karna kita juga sering menciptakan suasana yang tak nyaman diantara kita…

Aku ingin slalu bisa menjadi sahabatmu, orang yang kau percayai, seseorang yang kau cari jika kau ada masalah dan aku juga yang dapat menenangkan hatimu yang galau. Kau memang tak sempurna di mata orang lain, pun di pandanganku. Namun, justru ketidaksempurnaan itu membuat aku banyak belajar. Bahwasanya, tidak semua yang aku harapkan bisa aku dapatkan. Karena, jika aku mencari sahabat yang tanpa kekurangan, selamanya aku tak akan pernah memiliki sahabat…

Pesanku untukmu dan untukku sendiri, ingatlah bahwasanya ukhuwah itu tak semulus jalan tol, kadang terlalu curam lagi berbatu. Berkelok tajam dan berbahaya. Ada begitu banyak hamparan penghalang yang menjadi terhentinya langkah ini, kita mesti lebih berhati-hati lagi saat melaluinya. Jika kita terlalu cepat berjalan, kadang kerikil-kerikil tajam ataupun duri yang bertebaran tak dapat lagi kita hindarkan. Namun, jika terlalu lama meniti langkah, kita akan tertinggal jauh di belakang…

Dan, UKHUWAH kita ini TAK BERSYARAT!!!

Terima kasih untuk waktu-waktu indah yang kau lewati bersamaku.
Terima kasih telah menjadi teman yang cukup bijaksana, walau kadang terlalu detail menilai suatu masalah.
Terima kasih untuk tiap senyum indahmu tuk menghibur hatiku yang sedang gundah.
Terima kasih engkau masih bersedia menjadi sandaran saatku rasa lelah lalui hidup ini.
Thanks for everything,..

Maaf untuk tingkahku yang menyebalkan, tak jarang aku buatmu marah.
Maaf atas kata-kata yang tak pantas, yang sempat terucap dari lisanku.
Maaf, aku belum bisa menjadi sahabat terbaik untukmu.
Maaf juga untuk ketidakmengertianku tentang maumu, karna kadang aku mengabaikan hak-hakmu sebagai saudara.
Dan maaf atas bulir-bulir air mata yang sempat menetes karna ulahku, aku sering buatmu menangis. Maaf ya Wik, T.T

Hmmm, kok jadi mellow ya…


Sekarang saatnya untuk do’a >>

* Aku do’akan semoga kita bisa lulus bulan April ini, amiiiiiiiiiinnn!!!
* Semoga Dwi makin dewasa, idak ngambek-ngambekan lagi. Inget umur Wik, malu sama anak SMA. Hahaha…
* Semoga tetep ISTIQOMAH di jalan dakwah ini, dengan sebenar-benarnya ISTIQOMAH. Pahim kan???
* Semoga Allah mengekalkan ukhuwah ini, hingga kita dapat bertetangga di Jannah-Nya kelak.. ^^
* Semoga rezekinya lancar (jadi, kami biso ngutang. hahaha), usianya barokah, dapat menebar manfaat di mana dan kapanpun, dan semoga setiap harapan yang sempat terucap perlahan menjadi suatu kenyataan. Tapi inget, “Tidak semua yang kita harapkan dapat kita dapatkan, karna Allah memberikan apa yang kita butuhkan bukan apa yang kita inginkan.”
* Dan yang terakhir, semoga DWI SEGERA MENEMUKAN PANGERAN IDAMANNYA di saat yang tepat dan dengan orang terbaik menurut Allah, amiiiiiin..

Sekali lagi, selamat hari lahir ya honey…



Sungguh, aku mencintaimu karena-Nya...