Kamis, 28 Februari 2013

Layang-Layang

Senin sore kemarin saya dipanggil murabbiyah ke rumahnya, rasanya dag dig dug, takut-takut kalo ternyata saya ditanya ini itu, huahahaha. Emang murabbiyah itu KPK yang akan menanyakan banyak hal,^^

Sesampainya di rumah itu, saya disambut senyum simpul Adek Fariz yang langsung menunjuki saya layang-layang yang sedang dikejar Mas Fauzan dan teman-temannya. Fariz dan Fauzan adalah anak murabbiyah saya, ada satu lagi, namanya Hamam. Fauzan, Hamam dan Fariz.

Tiga bocah lucu ini slalu bisa membuat saya dan teman-teman halaqah tertawa dengan ulahnya, kadang fokus kita saat mendengarkan taujih yang disampaikan murabbiyah kami berganti ke mereka yang sibuk menanyakan ini itu ke umminya, sembari menampakkan ekspresi polos dan agak sedikit konyol itu. Anak-anak itu emang segolongan manusia yang mempunyai cara sendiri untuk membahagiakan orang-orang di sekitarnya, berharap kau pun begitu nanti, Nak. :)

Kembali ke layang-layang. Kata Ummu Fauzan, anak-anak ini slalu lebih tertarik untuk mengejar layangan lego, memamerkannya ke mana-mana lalu memainkannya dengan begitu senangnya. Padahal mereka tidak memperlakukan hal yang sama terhadap layang-layang yang dibeli abinya.


Mungkin, karena mendapatkannya begitu sulit. Makanya kebahagiaan pun datang berlipat saat berhasil menggapainya, dan tak ingin rasanya ia terlepas lagi. Saya rasa bukan hanya mereka yang seperti itu, tapi juga anak-anak lain di luar sana.

Begitu juga dengan sesuatu yang saat ini ingin kita gapai, ada kepuasan tersendiri saat kita mampu meraihnya. Dengan usaha yang semaksimal mungkin. Aaaah, manisnya buah dari sebuah perjuangan, yang dengan hati kan kita rasakan indahnya ituh.

Hmmm, jadi pengen maen layang-layang juga. Maukah bermain denganku? 

Minggu, 24 Februari 2013

Palestina, Apa Kabarmu?

Hari ini ada kajian yang diadakan oleh DPD PKS di Aula DPRD Provinsi, pesertanya adalah kader dakwah yang ada di Palembang juga sebagian dari Indaralaya (OI). Gak nyangka kalo pesertanya bisa membludak, sampe harus duduk berdesakan. Ada yang bahkan gak kebagian tempat duduk, jadi harus berdiri mendengarkan taujih dari pembicara di depan.

Salah satu pembicara di kajian itu adalah Syeh Abu Mukmin dari Palestina, beliau menghadiri kajian ini dalam rangkaian kegiatan yang dilaksanakan oleh KNRP (Komite Nasional untuk Rakyat Palestina) di kota-kota yang ada di Indonesia.

Beliau menceritakan tentang kondisi terkini Palestina, tentang kegigihan para pejuang di sana dalam menghadapi kekejaman zionis. Juga tentang kecintaan mereka kepada kita, rakyat Indonesia yang senantiasa peduli pada saudara seiman yang berjuang membela Islam, bukan hanya untuk sekedar memerdekan negara. Tapi lebih dari itu, membebaskan tanah suci umat Islam, kiblat pertama umat Islam, Al Quds dan Al Aqsa.

Beliau berkata, ketika beliau menelepon istrinya yang sekarang di Palestina dan menyampaikan salam dari kaum Muslimin di Indonesia, salam itu disebarkan kepada para wanita-wanita yang ada di sana, dan serta merta tangisan mereka pecah. Ada kerinduan, ada keharuan juga rasa dicintai begitu besar, yang mereka rasakan. Dari kita, saudara seiman mereka yang berjauhan, tak pernah saling mengenal apalagi bertegur sapa. Itulah cinta yang berlandaskan keimanan, cinta karena Allah. Kecintaan yang tak mengenal batasan suku, daerah, negara, dan bahasa.

Mendengarnya berkisah, sungguh diri ini merasa tak ada apa-apanya. Belum mengorbankan apapun untuk perjuangan Islam. Tapi masih merasa telah berjuang banyak hal, sungguh naifnya dirimu Ci! Jika kelelahan dalam berjuang kadang lebih banyak dikeluhkan ketimbang berpikir, bergerak dan berjuang dengan sebenar-benarnya perjuangan.


Palestina, apa kabarmu?
Pernahkah tanya ini melintas dalam benak kita? Meski hanya sesekali waktu? Atau kah kita hanya mengingatnya saat berita mengenai anak-anak yang syahid di sana terekspos media, beritanya ada di mana-mana. Jika tidak, kita tidak pernah ingat.

Duhai diri, jika kau tak mampu membersamai mereka dengan ragamu, iringilah perjuangan mereka dengan jiwamu. Berikanlah bantuan terbaik yang bisa kau berikan, meski itu hanya dengan seuntai do'a. Itu akan menguatkan mereka.

Allah memang tak pernah meninggalkan mereka, mereka memang tak pernah sendiri. Tapi, adalah tugas dan kewajiban kita untuk membantu meringankan beban saudara yang membutuhkan bantuan. Maka selayaknya lah kita ikut dalam barisan perjuangan ini, dengan apa yang bisa kita berikan. Dengan dirimu, hartamu, juga do'amu.

Terima kasih, hari ini telah mengingatkan kembali. Bahwasanya ada saudara kita, di negeri yang sedang terjajah itu. Ada tangisan dari anak-anak tak berdosa, ada istri-istri yang kini mungkin tak lagi bersuami. Ada ibu-ibu yang senantiasa mengikhlaskan anak-anaknya menuju kesyahidan, meski mereka hanya berpamitan untuk menunaikan shalat Jum'at.

Selasa, 19 Februari 2013

Tentang Ujian

"Tak penting ujian itu baik atau buruk, yang terpenting ujian itu membuat diri semakin taat."

Itu adalah motto hidup seorang kenalan saya, seorang ibu muda, istri yang shalehah juga muslimah yang tangguh (insyah Allah). Saya cukup mengenalnya, kira-kira satu setengah tahun yang lalu kita pertama kali bertemu. Di sebuah walimatul ursy yang sederhana namun begitu terasa indahnya, [Bandung, Juli 2011]

Karena dia dari Bandung, jadi orangnya itu sangat lembut. Tutur katanya begitu halus, dibanding sama saya sih jauuuuh, kek langit sama bumi. -___-" | Usia kita seumuran, tapi dia udah punya anak satu ajah, saya malah belum nikah, #ehh *curcol

Allah itu menguji hambaNya sesuai dengan tingkatan kemampuannya, jika kita diberi ujian yakinlah bahwa kita PASTI bisa mengatasi ujian itu. Hanya saja, apakah kita bersabar dan terus berikhtiar dalam menghadapinya ataukah mengeluh lalu menyerah tanpa berjuang?

Semakin tinggi tingkatan keimanan seseorang, maka ujianNya pun semakin hebat. Yah, ibaratnya kek ujian sekolah. Soal untuk anak SD pasti beda levelnya sama anak SMA, anak SMA akan dengan mudah menyelesaikan soal yang untuk anak SD, tapi tidak sebaliknya.

Di sana ada penilaian dariNya, untuk melihat sejauh mana hambaNya itu berhak dinaikkan 'level'nya. Apakah sudah layak naik atau masih harus meremedi lagi ujian tersebut? Sampai bisa lulus dengan hasil yang maksimal.

Teteh, begitulah saya biasa memanggilnya. Kisah hidup tentangnya ketika masih kuliah dulu sungguh menggetarkan, saya mendengarnya dari seorang teman dekatnya ketika di Bandung. Teteh itu terbiasa hidup keras, ibunya telah meninggal, ia tinggal bersama ayah dan adik lelaki satu-satunya. Dia harus bekerja keras untuk bisa tetap kuliah, kadang dia harus berjalan kaki menuju kampus, karena tak punya biaya untuk naik angkot.
 
Dan, sekarang beliau menetap di Palembang ikut suaminya. Meninggalkan ayah dan adiknya di sana, pasti sangat berat jika tidak kuat hati mah. Di sini banyak yang begitu menyayanginya, semua yang mengenal teteh pasti suka berteman dengannya. Karena beliau orang yang baik juga lembut.

Beberapa bulan yang lalu suaminya sakit, sempat dirawat di rumah sakit. Saat itu dia sedang hamil besar, harus bolak-balik ke rumah sakit menjaga suaminya. Alhamdulillah sekarang suaminya itu benar-benar sembuh. Sehingga dia bisa tenang menjalani kehidupan baru yang jauh lebih bahagia.

Lalu, Allah kembali mengujinya, saat ini dia sedang sakit. Sakit yang cukup berbahaya, di saat-saat paling membahagiakan, yah saat putri kecilnya sedang lucu-lucunya itu. Saya sempat membesuknya beberapa pekan lalu, saat itu dia hanya bilang sakit biasa. Tapi, wajahnya begitu pucat, badannya pun nampak kurusan dari sebelumnya. Karena katanya tidak apa-apa, saya tidak terlalu menanggapinya. Dan kembali memusatkan pada diri sendiri dan orang-orang terdekat saja, lalai pada dia yang dekat tapi terasa begitu jauh.

Saya merasa jahat, sangat jahat. Sebenarnya saya membesuknya saat itu juga karena disMsin seorang teman, meminta saya untuk bersilaturrahim ke rumahnya. Akhirnya saya menyempatkan diri mampir ke rumahnya, dengan alasan jarak yang lumayan jauh dan saya sangat jarang ada keperluan di daerah sana. Saya mengabaikan hak saudara saya untuk dikunjungi, saya emang jahat!

Padahal dia itu di sini sendirian, hanya bertemankan suami dan putri kecilnya yang baru 6 bulan itu. Betapa teganya saya tidak menemaninya di saat dia membutuhkan teman, saudara untuk sekedar tempat bercerita. Sesibuk itukah sampai tak punya waktu untuk mengunjunginya Ci?

Semoga semua akan baik-baik saja, yah, pastinya semua akan baik-baik saja. Allah bersama kita, Allah bersamamu teh. Allah bersama mereka yang senantiasa mendekat padaNya.

Senin, 18 Februari 2013

Donor Darah

"Dibutuhkan darah A untuk ............., pasien leukimia, malam ini...."

Itu adalah satu diantara banyaknya pesan yang masuk di handphone tentang donor darah, di tiap bulan atau bahkan tiap pekan pesan serupa sering mampir di handphoneku. Ada sebuah kalimat yang tersirat dalam barisan pesan itu, ADA YANG MEMBUTUHKAN BANTUANMU.

Saya hampir slalu menghela nafas, sambil kemudian memforward pesan tersebut ke beberapa contact di handphone. Rasanya saya ini kurang bisa bermanfaat, sehingga harus mentransfer ke orang lain yang dirasa lebih bisa diandalkan.

Bukannya saya tidak mau mendonor darah, dulu saya malah pernah beberapa kali ke PMI untuk mendonorkan darah saya yang kebetulan sama dengan darah si pasien yang saya kenal itu. Tapi, setibanya di PMI petugas langsung mengatakan, "Dek, tunggu di luar saja." Ketika saya bilang saya mau donor, petugas itu melihat saya dengan seksama lalu meminta saya keluar. Saya tanya kenapa, dia hanya bilang "Tidak lulus kualifikasi!"

Perasaan yah, badan saya ini dibilang paling gemuk diantara temen-temen saya yang emang lebih kurus dari rata-rata orang kurus, #ehh. Yah, berat badan saya saat itu 45 KG. Tapi, tetap ditolak, karena katanya gak mencukupi kriteria yang seharusnya.

Akhirnya saya keluar dengan perasaan sedih, karena gak bisa bantu apa-apa, selain do'a. Apalagi sekarang, berat badan saya ini hanya 42 KG, dan saya didiagnosis menderita tekanan darah rendah, yang tidak akan pernah diizinkan untuk mendonor, orang saya aja butuh didonor, kata temen saya suatu hari. -___-"

Padahal yah, donor darah itu manfaatnya banyak, selain untuk membantu orang yang membutuhkan juga baik untuk si pendonor. Darahnya akan mengalami pergantian darah yang jauh lebih baik, darahnya juga akan jauh lebih sehat. Dan, katanya kita jadi bisa gemukan dikit kalo rajin donor darah, hmmm! :)

Kapan Yaaaah??

Kemarin sepulang dari suatu acara, tepatnya di lampu merah. Aku gak sengaja ngeliat seorang cewek dengan kerennya mengendarai sepeda melintas di sampingku, lalu berhenti sejenak di barisan paling depan.

Entahlah, itu karena orang yang ngendarainnya atau karena sepedanya yang keren yak, yang jelas aku jadi mupeng banget. Jadi pengen maen sepeda. Terakhir kali maen sepeda itu pas masih SMP kelas 1, waktu itu kan lagi musimnya ke sekolah pake sepeda. Sekarang? Jarang yang mau begitu, banyakan pake motor.

Dulu, aku dan beberapa temen ke sekolah ngendarain sepeda, kita janjian untuk pergi dan pulang bareng. Jemput-jemputan gitu deh, seinget aku dulu temen cewek yang ikutan itu cuma 1 orang, jadinya kita berdua deh ceweknya, selain itu semua cowok. Biasanya kita itu suka tuker-tukeran sepeda pas pulang, sekalian pengen nyoba enak gak pake sepeda model lainnya.

Nah, sepedaku itu udah dikasih ke orang lain karena saking lamanya gak dipake daripada mubazir kan, mending dihibahkan deh. Tapi, sekarang pengen banget bisa maen sepeda lagi. Jalan-jalan sore gituh, katanya sih naek sepeda itu salah satu olahraga yang cukup baik, untuk orang yang punya tekanan darah rendah kek aku gini. -___-"

Jadi, kapan yaaaah bisa sepedaan lagi? Kali aku bisa jadi lebih keren dari cewek bikers kemarin sore ituh, #ehh

Penyenang Hati


“Dan orang-orang yang berkata: Ya Tuhan kami, anugerahkan kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), 
dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa.” 
(QS. al-Furqan: 74) 


Anak sholeh dan sholehah adalah dambaan bagi setiap orang tua, karena memiliki anak yang sholeh dan sholehah merupakan salah satu pilar bagi terwujudnya keluarga yang sakinah, keluarga bahagia yang meneduhkan hati para penghuni di dalamnya. Anak yang sholeh dan sholehah dalam bahasa al-Qur’an dilukiskan sebagai qurrota a’yun, penyejuk mata dan penyenang hati bagi kedua orang tuanya.

Seperti kata seorang teman, kewajiban seorang ibu itu adalah 'mencarikan' ayah yang baik untuk anak-anaknya kelak, begitupun sebaliknya. Maka, saat memilih calon suami berpikirlah apakah ia akan menjadi ayah yang baik untuk anak kita kelak? Tidak hanya sekedar menjadi seorang suami yang baik saja.

Ada hak anak untuk dididik oleh ayah/ibu yang baik, yang nantinya akan mengajarkan banyak hal kepada mereka. Agar anak sholeh dan sholehah itu tidak lagi hanya sebuah mimpi dan harapan saja, melainkan akan terwujud secara bertahap, sejak saat ini, sejak masih sendiri. :)