Sabtu, 23 Juli 2011

Kita Beda Ya???

Kita beda,..
Kalo lagi di kampus aku lebih suka makan bakso/mie ayam/martabak ketimbang makan nasi, karena menurutku makan di luar itu kudu beda dari di rumah.
Kau malah sebaliknya kawan!
Jadilah, kita saling mengalah agar kita bisa tetap tersenyum manis.
Atau terkadang, kau menemaniku jajan terlebih dulu, baru nantinya aku yang menemanimu makan.
Indahnyaaaa…

Kita beda,...
Aku lebih suka duduk diam saat menghadiri kegiatan,
Kau mana bisa duduk diam dalam waktu yang lama.
Kau akan ‘berkeliaran’ ke sana kemari,
Kau selalu bilang, “Aku ini kinestetik, gak bisa diem!”
Jarang sekali ada waktu untuk kita duduk berdekatan…


Kita beda,…
Tidak masalah bagiku jika harus pergi sendiri,
Ataupun ditinggal olehmu,
Akan jadi masalah, jika itu terjadi padamu.
Kau akan manyun atau bahkan marah karena ditinggal sendirian,
Bukan karena apa-apa, kau hanya tidak ingin merasa sendiri.

Kita beda,…
Saat belajar, kau memilih tempat yang sunyi dan tenang,
Aku malah lebih suka belajar bersama-sama.
Kau akan menghafal dengan cara membacanya berulang dalam hati,
Sedangkan aku lebih suka melafazhkannya dengan suaraku.
Aku lebih suka saat belajar diiringi dengan musik,
Kau malah tidak nyaman jika ada suara lain apalagi musik saat kau sedang belajar.
Jadilah, malam itu kita berdebat tentang hal ini.
Malam di mana kita memilih untuk belajar bersama,
Bukannya belajar, ada juga tidur dengan wajah manyun karena semua keras kepala.
Huuu, aku rinduuuuu…

Kita beda,…
Kau yang selalu perhatian mengirim pesan-pesan indah,
Tapi, aku bukanlah tipe orang yang berekspresi dengan kata-kata.
Mungkin kau jemuh karena tak pernah kau terima pesan indah dariku,
Tapi, kelak kau akan tau perhatian dan cintaku tidak berwujud kata kawan…

Eh, ada yang sama…
Kita sama-sama egois, hahaha…
Aku masih ingat saat kita menginap di rumahnya,
Kau dan aku saling berebut bantal guling,
Karena aku dan kau tak bisa tidur tanpa bantal guling.
Akhirnya semalaman kita habiskan dengan tarik menarik bantal,
Aaaaa, kau memang bandel kawan…

Pelangi itu indah karena ragam warna-warninya,Ia melengkung membelah cakrawala dengan kecantikannya.Begitupun pelangi ukhuwah kita,Berwarna-warni tapi tetap indah untuk dinikmati…

Sabtu, 16 Juli 2011

Istikharah Cinta

"Ada amanah yang harus ana sampaikan ke anti."

Sebaris pesan pendek yang dikirimkan oleh salah seorang saudaraku di kampus, jujur sempat melintas sebuah tanya dalam benakku. Amanah? Amanah apakah itu? Semenit kemudian aku menghapus pertanyaan-pertanyan yang mencoba melintas, "Takkan ada apa-apa kok", tegasku menenangkan diri.


Di masjid kampus itu sudah ada yang menunggu di balik hijab, ya dia, saudaraku itu, sendirian. Dengan ditemani seorang teman yang menunggu di teras masjid, aku mulai mendengar kalimat demi kalimat yang disampaikannya padaku. Sebuah pernyataan dan pertanyaan yang membuatku terkejut, hingga aku terdiam karena tidak tau harus bersikap seperti apa dan apa yang harus kujawab.
"Beliau ingin ta’aruf dengan anti, bagaimana menurut anti?"

Kalimat itu lama sekali aku mencernanya, ta’aruf? Berkenalan denganku? Tidak salah? Atau aku salah dengar? Dia? Seseorang yang sama sekali belum pernah melihatku, bagaimana bisa?


"Kenapa harus ana?" tanyaku seadanya, karena terlalu bingung harus berkata apa. Lalu tanpa kusadari ada setetes air yang jatuh dari mataku, membasahi pipiku. Entahlah, aku juga sampai saat ini tak mengerti kenapa air mata itu menetes. Terharukah? Ataukah terlalu kaget, I don’t know about that…

Mulailah hari-hariku dipenuhi dengan ketidak tenangan, ada galau yang menyeruak, ada harapan-harapan yang mulai tumbuh, juga ada banyak pertanyaan yang menghinggapi. Hampir di tiap waktu terbaik untuk berdo’a aku manfaatkan dengan meminta petunjuk dariNya, berharap akan ada jalan untukku. Untuk kebimbangan yang kini melandaku. "Ya Allah, tunjukkanlah pilihan terbaik untukku." Begitu pintaku di tiap do’a-do’a yang terlantun!


Aku pun berbicara dari hati ke hati kepada beberapa orang terdekat, meminta pertimbangan mereka untuk masalahku ini. What should I do???

Malam-malamku tak pernah terlewat dari sujud kepadaNya, juga air mata yang tak henti mengalir setiap aku bicara tentang hal itu padaNya. Karena, hanya Dia-lah yang begitu rela mendengar curahan hatiku ini. Dan hanya Dia juga yang pasti akan memberikan jawaban terbaik.

Hingga suatu hari aku bicara kepada seorang teman, aku menanyakan padanya, "Sebenarnya bagaimana kita bisa mengetahui jawaban dari istikharah kita" Dia berfikir sejenak, lalu kemudian menjawabnya dengan singkat. "Dari bashiroh ukh, ada ketenangan untuk jawaban yang anti putuskan menjadi pilihan anti." Kalimat itu seakan menghujam dalam di hatiku. Lantas, malam itu juga aku memutuskan untuk menerima ta’aruf itu

Tapi, sama sekali tak kutemukan ketenangan untuk jawaban itu. Aku makin gundah bahkan lebih dari sebelumnya, sungguh melelahkan membawa hati seperti itu di saat aku disibukkan dengan tugas-tugas kuliah yang begitu menyita waktuku juga membutuhkan perhatian yang ekstra. Aku begitu kalut, masalah ini sungguh menyita segenap pikiran dan hatiku, hingga aku tak sedikitpun tertarik untuk menyentuh hal lainnya.

Malam berikutnya, aku kembali berbincang pada-Nya. Dan aku bicara padaNya, 
"Ya Allah, jika saat ini bukanlah waktu yang tepat untukku mengenal seseorang, atau mungkin dia bukanlah orang yang kau pilihkan untukku. Maka, aku tak akan menerima proses ini, jika itu adalah jawaban yang kau berikan, mohon tenangkanlah hatiku, mohon dengan sangat Ya Rabb." 
Dan akhirnya aku mencoba untuk memilih tidak memulai proses itu. Tahukah apa yang terjadi? Sesaat setelah itu, hatiku menjadi begitu damai, sangat damai, bahkan lebih damai dari seminggu yang lalu, sebelum aku mendengar pesan tersebut.

Mungkin inilah yang dinamakan bashiroh, kutemukan jawaban istikharahku. Di luar dari belum turunnya restu keluargaku, orangtuaku yang ingin aku menyelesaikan kuliah terlebih dahulu, juga kedua kakak perempuanku yang belum menikah dan usiaku yang masih terbilang muda.
Maka, lengkaplah jawaban-jawaban yang terpencar itu, hingga ku dapati jawaban itu menjadi utuh. Aku belum bisa memulai proses itu, meski ia hanya sebuah proses awal. Karena bagiku, ta’aruf bukan hanya berkenalan saja, tapi juga satu langkah awal untuk menuju sebuah ikatan yang bernama pernikahan. Lantas, bagaimana mungkin aku sembarang memutuskan untuk hal sepenting ini, aku berharap hanya orang yang berhaklah yang akan aku kenal dan akan mengenalku dengan sebaik-baiknya perkenalan… [Fiksi]

Ditulis dalam rangka
"1 Minggu Menulis Bersama"

Jumat, 15 Juli 2011

Tatkala Cinta Tak Kunjung Berbunga

“Wahai insan yang di sana, mungkin saja ini kau dengar. Melewati semesta ini aku sampaikan, begitu ingin berbagi batin, mendengarkan asa di jiwa.Oh Tuhan, pertemukan aku sebelum hatinya beku…”

20 tahun usiaku, kulalui dengan beragam aktifitas yang menyita sebagian besar waktuku, sibuk dengan tugas-tugas kuliah dan organisasi yang kuikuti. Tak ada hari tanpa ada aktifitas yang kulakukan, meski hanya sekedar berkunjung ke rumah salah satu saudara yang membutuhkan kehadiranku. Saat itu, bayang tentangmu tak pernah hadir, bahkan engkau tak pernah terlintas dalam benakku. Ada banyak impian yang masih harus kugapai, ada banyak harapan yang kian berkejaran dengan masa yang kupunya...

25 tahun usiaku, di usia yang seperempat abad ini. Aku mulai mencari-cari, seperti apa dirimu, bayang tentangmu perlahan hadir dalam benakku. Meski tak tergambarkan, aku bisa merasakan kebahagiaan tatkala berpikir tentang kita di masa depan. Ada aku, kau dan keluarga kecil kita. Tapi, hingga kini belum ada tanda-tanda tentang kedatanganmu. Aku pun mulai bertanya, kau ada di mana???

30 tahun usiaku, kau tau, rasa khawatir mulai menjelajah dalam diriku. Ada hati yang mulai ragu, mungkinkah kau akan datang? Atau kau telah mendahuluiku menemuiNya, hingga tak sempat kau mengajakku bersama menuju-Nya. Rasa lelah dan bosan akan penantian tentangmu kerap hadir, makin bertambah tatkala mereka bertanya,
“Kapan menikah?”

Kau tau, jika bukan karena keyakinan pada-Nya, saat ini aku sudah berputus asa tentang takdirku. Tapi, Dia lah sumber cahaya yang merasuki relung-relung hati yang kian temaram tanpa hadirmu. Karena-Nya aku bertahan, dalam penantian tentang hadirmu, dirimu yang kan jadi penggenap dienku. Engkau yang kan kutempatkan pada posisi ke tiga setelah Allah dan Rasulullah. Engkau yang kelak kan gantikan tempat kedua orang tua yang harus kutaati, ya hanya dirimu cinta...

40 tahun usiaku, kini, aku telah terbiasa menjawab dengan senyuman bahagia tatkala mereka bertanya tentang aku yang belum jua menikah, meski telah kumiliki semua yang dicari oleh wanita pada umumnya. Aku tak ingin bertanya lagi, kau di mana? Sedang apa? Kenapa kau tak kunjung datang? Taukah kau, ada aku di sini yang menantimu???

Waktu yang kini kian menipis, tak kuizinkan ia berlalu dengan tangis dan hati yang makin teriris. Aku tetap akan menjadi diriku, yang selalu menjaga hati dan diriku, meski tidak lagi untukmu, aku akan tetap menjaga semuanya, untuk Tuhanku dan diriku sendiri.



"Maaf, jika pencarian tentangku membuat kau merasa lelah. 
Semoga Allah pertemukan kita di syurga-Nya,…"

Dilatabelakangi cerita seseorang yang kukenal, semoga Allah senantiasa menetapkan ia dalam keimanan dan kesabaran…

Kamis, 14 Juli 2011

Meski Tak Sebebas Merpati

“Mumpung masih gadis!”

Kalimat pamungkas yang sering dilontarkan saat melakukan beragam aktifitas aneh bin unik, misal: Naek motor bertiga, makan ice cream di pinggir jalan, liburan bareng temen ke luar kota, de el el deh…

Karena secara tidak langsung pengalaman orang-orang di sekitar jadi cerminan, bagaimana kehidupan setelah mereka tidak sendiri lagi, ada banyak hal yang secara otomatis akan berubah. Yang dulunya bisa pulang sesuka hati, jalan ke mana kaki melangkah, bermain tanpa mengenal waktu. Sekarang, semuanya harus ada izin, bahkan meskipun mendapat izin, tetap saja hati kadang tidak tenang. Begitu kata temen-temenku yang dah pada nikah…


Tapi, meski tak sebebas merpati. Mereka mengatakan kehidupan setelah pernikahan jadi suatu kebahagiaan yang tak terbayangkan ketika mereka masih sendiri dulu, semuanya ada sensasi tersendiri, saat menunggu suami pulang kerja, makan berdua di rumah mini yang masih mengontrak, menantikan kehadiran sang buah hati, merancang masa depan yang gemilang bersama pasangan hidup, dan banyak hal menarik lainnya…

Aku pernah mengatakan kepada seorang kakak tingkatku,

“Hidup haruslah bahagia, gak harus menikah dulu baru merasakan kebahagiaan, menikmati masa-masa masih sendiri pun haruslah dengan kebahagiaan. Bukan dengan keluh dan kesah, karena semua hal yang kita alami takkan pernah sama nikmatnya…”

 So, buat yang masih menanti-nanti sang pujaan hati *jiyaaaah…

Berbahagialah kawan, kelak kau akan merindukan masa-masa mu saat ini. Tertawa riang bersama sahabatmu, melakukan hal-hal unik bersama mereka, mengukir cinta-Nya dalam dekapan ukhuwah yang indah.

Isilah masa-masa keemasan ini dengan perbaikan dan kebaikan, karena dengan begitu waktu yang berlalu takkan jadi pematik untuk menggerutu pada kehidupan ini…

Ditulis dalam rangka
"1 Minggu Menulis Bersama"

aci tankguh
{14 Juli 2011, 9.45 am}

Inginku, Jika Kelak

Sempat menonton acara IMB (Indonesia Mencari Bakat) di Trans TV beberapa waktu yan lalu, saat itu Grand Final. Saat di mana KLANTINK (peserta favaoritku) sedang diwawancarai perihal latar belakang mereka. Ada sebuah pertanyaan yang cukup menarik yang ditanyakan oleh MC, "Apa yang kalian harapkan di keluarga kalian nantinya yang tidak terjadi di keluarga kalian saat ini?"



Saat itu jawaban mereka 'ngelantur', mereka kagak nyambung sama apa yang ditanyakan...

Tiba-tiba saja seseorang yang duduk tak jauh dariku 'berceloteh', "Kalo aku? Aku tidak mau berpoligami, insyah ALLAH. Karena aku tau bagaimana rasanya jika ayahku memiliki keluarga kedua, aku juga melihat bagaimana sakitnya hati ibuku saat suami yang dikasihi membagi cintanya, aku merasakan tersitanya waktu-waktu berharga yang seharusnya dihabiskan bersama keluarga, aku pun menyadari betapa tidak nyamannya ayahku berada di posisi yang serba sulit. Bukan berarti aku membenci poligami, hanya saja aku tidak ingin melakukannya."

Hatiku terenyuh, dalam dan semakin dalam. Kadang banyak orang yang belum pernah merasakan sesuatu, sehingga ia merasa hal tersebut dapat dijalani dengan mudah, namun tidak dengan mereka yang pernah merasakan getirnya hal itu. Ia akan lebih berhati-hati dalam bertindak. Tidak ingin hal buruk terjadi pada dirinya ataupun keluarganya nanti...

Jika saja hal itu ditanyakan kepadaku, mungkin aku akan menjawab "Aku tak ingin 'mengomel' kepada anak-anakku, karena aku tau bagaimana rasanya jika diomelin. Sungguh tidak enak, walaupun sebenarnya kita memang salah dalam hal itu. Tetep aja kagak enak kalo diomelin." :(

Kalo kalian???

Ketika Asa Menjelma Sebuah Nama

HARAPAN, tiap kita memiliki beragam harapan-harapan indah yang terkadang melebihi sesuatu yang tak mampu diwujudkan dalam kenyataan…

Apakah salah??

Sama sekali tidak!

Siapapun berhak berharap sesuatu, asalkan ia siap dengan apa yang akan ia hadapi ketika harapan-harapan tersebut tak jua berwujud nyata…

Namun, jangan lantas engkau berhenti berharap karena takut takkan kau temui harapan itu sebagai sesuatu yang benar adanya… Ya seperti katanya Arai di Novel Sang Pemimpi, yang kira-kira isinya seperti ini “Orang miskin seperti kita tidak akan bisa hidup jika tidak memiliki mimpi!” (Maaf deh kalo salah, habis ana dah lama banget baca bukunya jadi ga begitu inget kata-kata tersebut… Nonton? Belum sempet… Hehe…)

Beberapa waktu yang lalu, ana sedang ber-sMs ria dengan salah seorang sahabat yang baru ana kenal kurang lebih dua bulan ini (maaf namanya sengajah tidak disebutkan, ^__^)…

“Ukhti, salahkah jika kita berharap atau menanti seseorang untuk kita??!”

Jujur, waktu baca sMs itu ana bingung mau jawab apa… Ana berfikir beberapa waktu sebelum mengirim sMs balasan untuknya, waktu itu ana ngejawab kalo ga salah (ya bener donk)…

“Fathimah Az Zahra mencintai Ali Bin Abi Thalib, namun ia mampu menjaga dan menyembunyikan perasaannya itu sehingga syaithan pun tak mengetahui akan perasaannya. Menurut ana sah-sah saja jika kita mengharapkan seseorang sebagai pendamping hidup kita kelak, ASAL kita harus berani menanggung resiko jika ternyata ia bukanlah orang yang Allah jodohkan untuk kita. Kasian donk sama jodoh kita yang ternyata tak pernah hadir dalam harapan-harapan kita.”

Ketika kita mengharapkan seseorang untuk menjadi pendamping kita kelak, yang akan selalu ada di kala suka maupun duka, yang kan menemani kita di hari tua nanti, ia juga yang akan berjuang bersama kita dalam membentuk keluarga yang Rabbani, keluarga yang kelak akan membawa perubahan pada ummat ke arah yang lebih baik, ia yang nama dan wujudnya masih menjadi rahasia-Nya itu ternyata telah kita buat sketsa di hati kita, dengan nama seseorang yang kita kagumi, yang kita sukai ataupun seseorang yang kita inginkan…

Kita sebut ia di dalam do’a-do’a kita, selalu ada dia di tiap khayalan indah masa depan kita, tak ada waktu tanpa kehadiran bayangannya dihari-hari kita… Seakan kitalah yang memilihkan jodoh untuk diri kita sendiri, jika demikian lalu apakah kita masih percaya bahwasanya Rezeki, Hidup, Mati dan Jodoh itu ada dalam genggaman Allah Yang Maha Kuasa…


Ukhti, tidaklah salah jika kita berharap mendapatkan seseorang yang baik, yang sholeh lagi mensholehkan, bijaksana, sabar, dan beragam kebaikan yang tampak pada dirinya. Yang pasti ia juga memiliki kekurangan-kekurangan yang belum nampak dalam pandangan kita…

Namun, kita harus sadari bahwasanya Allah memegang kendali dalam masalah ini. Dia yang telah menetapkan siapa jodoh kita, kita hanya dapat berusaha menjadikan diri kita menjadi pribadi yang lebih baik dan baik lagi, hingga layak mendapatkan seseorang yang baik dan sholeh juga…

Wallahu’alam bishowab…

Palembang, Juni 2010 (dah lama juga ya)

Masih Disimpan Sama Allah

“Kapan ngundang?”

Kalimat tanya itu seolah jadi kata-kata pemanis pembicaraan yang sering dilontarkan oleh lawan bicara. Entahlah apa yang ada dalam benaknya, hanya kalimat iseng kah? Atau memang penasaran?

Dan akan ku jawab, tunggu tanggal takdir-Nya sajalah. Insyah Allah nanti akan diundang.

 “Emang dah punya calonnya?

“Uda donk, tapi masih disimpen sama Allah, dirahasiakan tentang siapa dia, di mana dia tinggal, berapa usianya, juga apa pekerjaannya.”


dia’ masih terlalu asing bagiku, hingga tuk membayangkan seperti apa dirinya saja aku tak berani. Bukannya takut berharap, aku hanya meyakini, ‘dia’ yang kan datang nantinya adalah ‘dia’ yang terbaik untukku menurut-Nya. Meskipun sketsa tentangnya tak dapat kugambarkan dalam benakku, tapi aku yakin, jika kelak Allah izinkan aku berjumpa dengannya, hatiku dengan sendirinya akan merasakan ‘klik’ atas izin dari-Nya tentunya...

Ditulis dalam rangka
"1 Minggu Menulis Bersama"