Sabtu, 16 Juli 2011

Istikharah Cinta

"Ada amanah yang harus ana sampaikan ke anti."

Sebaris pesan pendek yang dikirimkan oleh salah seorang saudaraku di kampus, jujur sempat melintas sebuah tanya dalam benakku. Amanah? Amanah apakah itu? Semenit kemudian aku menghapus pertanyaan-pertanyan yang mencoba melintas, "Takkan ada apa-apa kok", tegasku menenangkan diri.


Di masjid kampus itu sudah ada yang menunggu di balik hijab, ya dia, saudaraku itu, sendirian. Dengan ditemani seorang teman yang menunggu di teras masjid, aku mulai mendengar kalimat demi kalimat yang disampaikannya padaku. Sebuah pernyataan dan pertanyaan yang membuatku terkejut, hingga aku terdiam karena tidak tau harus bersikap seperti apa dan apa yang harus kujawab.
"Beliau ingin ta’aruf dengan anti, bagaimana menurut anti?"

Kalimat itu lama sekali aku mencernanya, ta’aruf? Berkenalan denganku? Tidak salah? Atau aku salah dengar? Dia? Seseorang yang sama sekali belum pernah melihatku, bagaimana bisa?


"Kenapa harus ana?" tanyaku seadanya, karena terlalu bingung harus berkata apa. Lalu tanpa kusadari ada setetes air yang jatuh dari mataku, membasahi pipiku. Entahlah, aku juga sampai saat ini tak mengerti kenapa air mata itu menetes. Terharukah? Ataukah terlalu kaget, I don’t know about that…

Mulailah hari-hariku dipenuhi dengan ketidak tenangan, ada galau yang menyeruak, ada harapan-harapan yang mulai tumbuh, juga ada banyak pertanyaan yang menghinggapi. Hampir di tiap waktu terbaik untuk berdo’a aku manfaatkan dengan meminta petunjuk dariNya, berharap akan ada jalan untukku. Untuk kebimbangan yang kini melandaku. "Ya Allah, tunjukkanlah pilihan terbaik untukku." Begitu pintaku di tiap do’a-do’a yang terlantun!


Aku pun berbicara dari hati ke hati kepada beberapa orang terdekat, meminta pertimbangan mereka untuk masalahku ini. What should I do???

Malam-malamku tak pernah terlewat dari sujud kepadaNya, juga air mata yang tak henti mengalir setiap aku bicara tentang hal itu padaNya. Karena, hanya Dia-lah yang begitu rela mendengar curahan hatiku ini. Dan hanya Dia juga yang pasti akan memberikan jawaban terbaik.

Hingga suatu hari aku bicara kepada seorang teman, aku menanyakan padanya, "Sebenarnya bagaimana kita bisa mengetahui jawaban dari istikharah kita" Dia berfikir sejenak, lalu kemudian menjawabnya dengan singkat. "Dari bashiroh ukh, ada ketenangan untuk jawaban yang anti putuskan menjadi pilihan anti." Kalimat itu seakan menghujam dalam di hatiku. Lantas, malam itu juga aku memutuskan untuk menerima ta’aruf itu

Tapi, sama sekali tak kutemukan ketenangan untuk jawaban itu. Aku makin gundah bahkan lebih dari sebelumnya, sungguh melelahkan membawa hati seperti itu di saat aku disibukkan dengan tugas-tugas kuliah yang begitu menyita waktuku juga membutuhkan perhatian yang ekstra. Aku begitu kalut, masalah ini sungguh menyita segenap pikiran dan hatiku, hingga aku tak sedikitpun tertarik untuk menyentuh hal lainnya.

Malam berikutnya, aku kembali berbincang pada-Nya. Dan aku bicara padaNya, 
"Ya Allah, jika saat ini bukanlah waktu yang tepat untukku mengenal seseorang, atau mungkin dia bukanlah orang yang kau pilihkan untukku. Maka, aku tak akan menerima proses ini, jika itu adalah jawaban yang kau berikan, mohon tenangkanlah hatiku, mohon dengan sangat Ya Rabb." 
Dan akhirnya aku mencoba untuk memilih tidak memulai proses itu. Tahukah apa yang terjadi? Sesaat setelah itu, hatiku menjadi begitu damai, sangat damai, bahkan lebih damai dari seminggu yang lalu, sebelum aku mendengar pesan tersebut.

Mungkin inilah yang dinamakan bashiroh, kutemukan jawaban istikharahku. Di luar dari belum turunnya restu keluargaku, orangtuaku yang ingin aku menyelesaikan kuliah terlebih dahulu, juga kedua kakak perempuanku yang belum menikah dan usiaku yang masih terbilang muda.
Maka, lengkaplah jawaban-jawaban yang terpencar itu, hingga ku dapati jawaban itu menjadi utuh. Aku belum bisa memulai proses itu, meski ia hanya sebuah proses awal. Karena bagiku, ta’aruf bukan hanya berkenalan saja, tapi juga satu langkah awal untuk menuju sebuah ikatan yang bernama pernikahan. Lantas, bagaimana mungkin aku sembarang memutuskan untuk hal sepenting ini, aku berharap hanya orang yang berhaklah yang akan aku kenal dan akan mengenalku dengan sebaik-baiknya perkenalan… [Fiksi]

Ditulis dalam rangka
"1 Minggu Menulis Bersama"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar